
INILAH.COM, Jakarta - Berbagai kalangan mempertanyakan komitmen pemerintah dalam pemberantasan korupsi. Sistem saat ini dinilai masih berikan ruang bebas bagi praktik korupsi.
Fokus pemerintah masih pada upaya pemberantasan bukan pencegahan. Kondisi ini harus dihentikan agar praktik korupsi dapat diminimalisasi dengan melakukan pembenahan sistem pemerintahan.
Mantan Menteri Hukum Yusril Ihza Mahendra mempertanyakan peran Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang berujar memimpin perang terhadap korupsi di awal pemerintahannya. Pertanyaan itu terlontar lantaran dia tidak melihat upaya yang jelas dari pemimpin negara itu.
Senada dengan Yusril, Komunitas Pengusaha Antisuap Indonesia (KUPAS) dan Gerakan Nasional Indonesia Berintegritas (GNIB) mempertanyakan sikap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang tidak kunjung merespon gagasan pemberlakuan UU Pembuktian Terbalik Murni (UU-PTM). KUPAS dan GNIB mengusulkan hal ini untuk menanggulangi korupsi yang kian merajalela
Berbagai kalangan investor dan pengusaha sudah pesimistis terhadap komitmen pemerintahan SBY dalam hal pemberantasan korupsi. Pasalnya, dari waktu ke waktu kasus-kasus korupsi yang melibatkan para pejabat publik kian merajalela.
Pelantikan dan promosi terpidana korupsi sebagai pejabat seperti belum lama ini terjadi, makin menunjukkan bukti rendahnya komitmen pemerintah memberantas korupsi. Sebuah harian ibukota bahkan mencatat sedikitnya ada sembilan terpidana korupsi yang kembali diangkat menduduki jabatan publik di Provinsi Kepulauan Riau.
Ada baiknya SBY setidaknya memberlakukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tentang Pembuktian Terbalik Murni karena tidak mudah melahirkan UU.
Selama ini pemberantasan korupsi di Indonesia seperti jalan di tempat. Survei Transparency International menunjukkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada 1996 adalah 2,6. Sampai 2011, IPK Indonesia menjadi 3,0. Artinya, dalam tempo 15 tahun, pemberantasan korupsi di negeri ini hanya bergerak 0,4. Ini sekali lagi menunjukkan rendahnya komitmen pemerintah dalam upaya pemberantasan korupsi.
Dalam kaitan ini, UU Pembuktian Terbalik Murni yang digagas KUPAS/GNIB bersifat tidak berlaku surut. Artinya tidak dapat digunakan untuk menjerat kasus-kasus korupsi yang terjadi sebelum UU tersebut diberlakukan secara efektif. Kasus-kasus Korupsi yang terjadi sebelumnya, tetap di proses dengan pasal-pasal yang khusus.
Sedangkan harta hasil korupsi yang diperoleh sebelum pemberlakuan UU ini, hal itu akan diproses dengan UU yang sudah ada, misalnya, UU No. 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan atau UU No. 8/2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
Pada prinsipnya, pemberantasan korupsi dan suap harus dilakukan dengan sungguh-sungguh dan berkesinambungan, dengan memanfaatkan perangkat hukum yang sudah ada dan yang akan disusun kemudian.
Agar UU Pembuktian Terbalik Murni benar-benar efektif, ada beberapa hal pokok yang harus diatur secara tegas. Antara lain soal hukuman bagi para koruptor harus dikenai sanksi hukuman yang berat, minimal 10 tahun.
Selain itu, perlu juga ada pasal-pasal tentang penyitaan. Harta kekayaan milik koruptor yang tidak dapat dibuktikan diperoleh bukan melalui tindak pidana korupsi, harus disita untuk negara. Untuk menimbulkan efek jera, harus diatur terpidana korupsi tidak diberikan remisi atau pengurangan hukuman.
Semoga Presiden SBY berani bersikap dan tidak melakukan pembiaran atas sistem yang membuka peluang besar bagi korupsi. Pada akhirnya, dalam upaya membasmi korupsi, kepemimpinan sangat menentukan untuk membawa demokrasi berjalan baik dan dinamis, tidak oleng dan terseok di tebing curam korupsi yang mencelakakan. [mdr]
Rekomendasi Untuk Anda

Tidak ada komentar:
Posting Komentar